![]() |
Ilustrasi: repro |
Secara lahirilah, negeri ini memang sudah merdeka. Perubahan fisik juga tampak menonjol, Kota-kota besar di negeri ini juga berupaya mengimbangi dinamika penduduk yang terus meningkat dengan menambah sejumlah jaringan infrastruktur publik wah dan memanjakan. Namun, secara batiniah, diakui atau tidak, negeri ini belum sepenuhnya merdeka. Reformasi kultural yang gagal dinilai telah membangkitkan kembali meruyaknya semangat primordialisme yang mengagungkan egoisme, feodalisme, fanatisme sempit yang berujung pada merajalelanya kekerasan.
Pendidikan dinilai telah lari menyimpang dari “khittah”-nya sebagai media pembebas untuk memanusiakan manusia agar menjadi lebih bermartabat, berbudaya, dan berperadaban. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945 pun tak lebih dari slogan dan retorika belaka. Pendidikan bukannya didesain untuk mencerdaskan anak bangsa, melainkan hanya sekadar jadi alat untuk melanggengkan pertahanan kekuasaan segelintir orang semata.
Lihat saja, pelaksanaan UN selama ini. UN bukannya dijadikan sebagai media untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, melainkan justru menjadi tujuan pengekangan hak anak. UN juga bukan untuk memotret kompetensi siswa secara integral dan komprehensif, melainkan semata-mata diperalat untuk mempertahankan dan sekaligus juga meningkatkan gengsi daerah dan sekolah. Lihat saja kecurangan demi kecurangan yang berlangsung. Perilaku tak terpuji itu justru dibiarkan membudaya dan mengakar.
Diakui atau tidak, UN yang lebih mementingkan hasil ketimbang proses, telah membuat hakikat pendidikan kita tercabik-cabik. Mungkin sekarang belum terasakan dampaknya. Namun, kalau tak ada perubahan paradigma dalam sistem evaluasi pendidikan kita, bukan tidak mungkin kelak negeri ini hanya akan dihuni oleh generasi bermental instan yang ingin meraih sukses tanpa harus kerja keras. Otak dan kecerdasan mereka telah tercuci oleh desain pendidikan yang ditengarai sudah mulai mengarah pada upaya pembodohan massal melalui praktek ujian nasional secara serentak se tanah air.
Sebuah temuan penulis yang cukup menarik berkaitan UN, ada satu sekolah di aceh, yaitu sekolah Sukma Bangsa. Pengawas UN (Guru sekolah lain) memaksa siswa untuk menerima bocoran jawaban. Namun pengawas ini kaget dan merasa aneh dengan sikap siswa sukma bangsa ini. Aneh bagi pengawas ini memang cukup beralasan karena Budaya tersebut memang sedang berkembang di dunia persekolahan di tanah air. Akhir nya sekolah di bawah yayasan sukma ini menjadi pembicaraan tingkat elit karena lulusannya rendah.
Sekolah telah mengekang hak anak, kemerdekaan belajar bagi anak di rampas oleh para manusia yang mengaku pendidik, sangat ironis, dengan kondisi ini kita mengajak menjunjung kemerdekaan, pembebasan, keadilan. Sementara dalam pola didik kita memperkosa hak anak didik untuk menjadi lebih mandiri dan merdeka.
Hakikat pendidikan adalah sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Dari sini tampak jelas bahwa kehadiran seorang anak dalam kancah dunia pendidikan tidak bisa dilepaskan dari konteksnya sebagai bagian dari alam dan kehidupan masyarakat. Namun, akibat pemahaman yang keliru terhadap hakikat pendidikan, potensi anak-anak justru dikerangkeng dan dipenjara, serta dijauhkan mereka dari konteks kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya. Merdeka!!!
Penulis adalah warga pergerakan PMII Aceh saat ini menjabat Direktur Eksekutif Aceh Jaya Institute.
1 komentar on "PENDIDIKAN MERDEKA"
Tulisan saya sepuluh tahun yang lalu....
Post a Comment
Tulis Komentar Sahabat